BUKU, PERPUSTAKAAN DAN KITA
Buku, Perpustakaan dan Kita
* * "Bacalah dengan nama Tuhanmu
yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhan-Mulah yang maha Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya." (Surah Al 'Alaq, 96:1-5)
* Inilah wahyu pertama Tuhan kepada
Nabi Muhammad SAW yakni *Iqro!*(Bacalah!).
Tersirat bahwa aktivitas membaca adalah hajat manusia sepanjang zaman.
Hajat yang mesti dipenuhi dengan memadai demi keparipurnaan manusia sebagai
*khalifah fil ardh* (pemimpin di muka bumi).
Tak heran bila para pemimpin dunia
maupun tokoh-tokoh terkemuka yang kita kenal adalah orang-orang yang gemar
membaca. Misalnya, Bung Hatta, yang ketika diasingkan ke Pulau Banda tak lupa
membawa serta satu lemari besar buku-bukunya. Abraham Maslow, sang psikolog
Amerika yang menggagas teori hirarki kebutuhan adalah anak yang besar di
perpustakaan semasa kecilnya karena ia dikucilkan dari pergaulan karena
tampangnya yang tidak keren. Namun, amat disayangkan budaya baca bangsa
Indonesia secara umum belum setara dengan kegemaran masyarakatnya nonton dan
*ngobrol*.
Terlepas dari besarnya pajak buku dan
variatifnya acara TV minat baca masyarakat memang relatif menyedihkan.
Membludagnya pengunjung pameran buku dalam sebuah *event *tertentu mungkin
sebuah pengecualian. Tetapi dalam keseharian budaya * ngobrol* masih sangat
dominan. Sangat jarang, misalnya, di tempat-tempat umum kita jumpai orang duduk
membaca sambil menunggu kereta atau bus. Kalaupun ada, umumnya para pelajar
atau mahasiswa yang *kebelet* ujian. Selebihnya hanyalah obrolan
*ngalor-ngidul* yang kita lakukan. Padahal sejarah mengajarkan bahwa bangsa
yang maju adalah bangsa yang gemar membaca. Karena otomatis kecerdasan dan
wawasan iptek kian bertambah sehingga terjadi peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang diperlukan untuk upaya pembangunan yang berkesinambungan.
Marilah berkaca pada Jepang yang pada
masa Restorasi Meiji (tahun 1800-an) melakukan program penerjemahan buku
besar-besaran. Buku-buku yang pekan ini terbit di Amerika, negara adikuasa yang
mengalahkan sekaligus menjadi induk semang Jepang pasca Perang Dunia II, pada
pekan berikutnya sudah terbit di Jepang dalam versi terjemahannya. Alhasil,
Jepang sangat cepat menyerap teknologi dan inovasi mutakhir dari negara-negara
Barat dan tumbuh pesat setelah luluh-lantak dibom atom pada 1945 menjadi
pesaing ekonomi Amerika mulai 1960an hingga saat ini. Lantas, jika tingginya
tingkat minat baca terkait erat dengan kualitas SDM, patutlah kita merenung
apakah masyarakat kita dapat digolongkan sebagai *reading society* (masyarakat
yang membaca) seperti negara-negara maju yang kerap kita jadikan rujukan? *
Perpustakaan *
Setali tiga uang dengan nasib buku,
perpustakaan tampaknya belum populer di mata masyarakat. Dapat dibandingkan,
misalnya, frekuensi kunjungan anak muda sebagai tulang punggung bangsa ke
*mall* atau rental *playstation*dibandingkan ke perpustakaan, yang mana yang
lebih tinggi? Atau berapa banyak koleksi kaset lagu yang mereka miliki
dibandingkan koleksi buku? Beberapa tahun lalu, Prof. Andi Hakim Nasution dalam
salah satu tulisannya pernah merasa iri luar biasa ketika beliau mengunjungi
sebuah kampus di Malaysia dan menginap di dalam lingkungan kampus.
Pakar statistika ini mendengar derap
kaki serombongan mahasiswa yang baru pulang dari perpustakaan universitas pukul
12 malam. Tulisnya, pernahkah hal ini terjadi di perpustakaan universitas di
Indonesia? Di samping itu, selain "rabun membaca dan lumpuh
menulis"?meminjam istilah penyair Taufik Ismail?kita juga tak cakap
merawat dan mengabadikan karya-karya besar cendekiawan dan pujangga masa lalu.
Contohnya, bila kita ingin menelusuri khazanah keilmuan masa lalu yang lebih
banyak tertulis dalam aksara Arab Melayu atau Arab Jawa, kita mesti terbang ke
Universitas Leiden di Belanda yang koleksi naskah kuno asal Indonesianya
mencapai 1650 manuskrip dalam kondisi asli yang terawat baik.
Bandingkan dengan koleksi naskah Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional yang berjumlah 955 buah dan sebagian besar dalam
bentuk fotokopian. Tak heran jika hasil penelitian tim dari Universitas
Indonesia (UI) pada 1995 mengungkapkan sekitar 20% dari 1500 naskah beraksara
Arab Melayu di Kesultanan Cirebon hancur dan tak bisa dimanfaatkan lagi. Di
Kesultanan Yogya, 10 persen naskah kuno beraksara Arab Jawa rusak. Padahal di
masa lalu, saat kejayaan Kerajaan Demak maupun Samudra Pasai yang bahkan
disegani Kerajaan Inggris dan Turki, aksara Arab Melayu berperan besar menjadi
bahasa pendidikan dan literasi di Nusantara baik agama maupun permasalahan umum
yang melahirkan demikian banyak ulama berkaliber internasional dari Indonesia
yang berkibar di dunia Islam.
Syekh Yusuf yang menyebarkan Islam di
Afrika Selatan dan diangkat sebagai pahlawan nasional negara tersebut oleh
Presiden Nelson Mandella dan Syekh Nawawi Al Bantani, sang putera Banten yang
menjadi salah satu imam besar Masjidil Haram dan guru para syekh di Mekah
adalah sebagian kecil contoh coretan tinta emas sejarah tersebut. Termasuk
tokoh-tokoh perjuangan bangsa yang dibesarkan dengan pola pendidikan beraksara
Arab Melayu seperti Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro,
Mohammad Natsir atau Haji Agus Salim. Air mata ini akan kian deras mengucur
bila kita kian dalam berintrospeksi diri.
Teramat suram masa depan bangsa jika
kita terutama generasi muda sebagai tulang punggung bangsa buta sejarah
keilmuan masa lalu atau gagap mengejar kemajuan teknologi mutakhir hanya karena
malas membaca. Kita tak bakal bisa menjadi majikan di rumah sendiri jika
kondisi ini stagnan bahkan saat globalisasi besar-besaran. Kita hanya akan jadi
babu di dapur rumah sendiri atau terus-terusan mengekspor TKI ke luar negeri. Kita
hanya akan jadi?meminjam istilah Bung Karno? *Nation of Coolie*, bangsa kuli.
Relakah kita? Pemerintah sudah wajib hukumnya mengeluarkan sekaligus
mengaplikasikan (ini yang penting!) kebijakan yang mendorong tumbuhnya minat
baca masyarakat?seperti janji-janji kampanyenya untuk memperhatikan
pendidikan?seperti kebijakan *intellectual tax* (pajak intelektual) yakni
pemberlakuan pajak khusus untuk buku dan materi-materi intelektual lainnya
dengan persentase rendah bahkan nol persen. Langkah ini pernah diterapkan
Presiden Soekarno yang pecinta buku semasa Orde Lama. Sepertinya langkah
tersebut masih terkesan "mewah" di tengah kondisi APBN yang
sempoyongan dihajar krisis energi dunia dan korupsi serta lilitan hutang
negara.
Namun gebrakan jaringan perpustakaan
pemerintah di DKI Jakarta termasuk Perpustakaan Umum Daerah Soemantri
Brojonegoro di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, untuk buka dan melayani
masyarakat hingga pukul delapan malam *non-stop* tanpa libur termasuk hari Ahad
patut diapresiasi sebagai langkah awalnya. Jam buka perpustakaan yang panjang
memang sedikit banyak dapat memfasilitasi minat baca masyarakat terutama
kalangan pekerja yang tak punya banyak waktu di hari kerja. Minimal langkah
tersebut berguna sebagai awal menipiskan ketertinggalan kita dengan negara
jiran kita seperti Malaysia dan Singapura. Pemda DKI juga belum selayaknya
berpuas diri karena masih banyak hal yang perlu dibenahi seperti infrastruktur
dan fasilitas pendukung seperti jaringan internet, katalog, pusat edukasi buku
yang memadai serta promosi luas di semua kalangan masyarakat tentang keberadaan
dan layanan perpustakaan.
Gebrakan lain adalah inisiatif dari
kalangan praktisi perbukuan yang berkolaborasi dengan pemerintah untuk
mengelola sebuah perpustakaan Library@ Senayan (hibah dari perpustakaan
*British Council*) di gedung Departemen Pendidikan Nasional, Jl. Jendral
Sudirman, yang memnberikan layanan lengkap dari buku-buku berbahasa asing
sampai peminjaman materi audio-visual. Inilah kesempatan luas bagi warga
khususnya DKI Jakarta untuk mengakses bahan bacaan gratis?yang merupakan hak
mereka sebagai pembayar pajak--di tengah tingginya harga-harga barang. Semoga
saja dengan adanya otonomi daerah yang *notabene* lebih kompetitif para pejabat
pemerintah daerah lain di Indonesia merasa "cemburu". Bentuk
kecemburuan inilah yang diharapkan dapat merangsang inisiatif serupa di
daerahnya masing-masing. Ini bukan masalah dana sesungguhnya. Ini masalah
kemauan. *When there's a will there is a way.
*APBD DKI Jakarta bukan yang terbesar
di Indonesia. Ada banyak provinsi lain bahkan kabupaten seperti Kutai
Kartanegara di Kalimantan Timur?dengan kekayaan sumber daya alamnya--yang jauh
lebih besar yang lebih memadai untuk menyediakan perpustakaan-perpustakaan yang
representatif bagi publik. Masalahnya adakah kesadaran politik mereka untuk
menghapus sindiran salah seorang mantan presiden sebuah negara di Afrika bahwa
"pemerintah selalu punya uang untuk sepatu orang kaya namun selalu
pailit untuk periuk nasi (baca: hajat hidup) orang miskin"? Jika
seruan ini sayup-sayup saja di telinga mereka atau justru hanya bergema
sia-sia, marilah kita mulai dari diri sendiri, saat ini dan dari yang kecil.
Misalnya, kita bangun perpustakaan pribadi di rumah dengan seberapapun jumlah
buku yang ada atau bergabung dengan komunitas buku yang kerap punya acara
menyumbangkan buku bagi kalangan tak berpunya. Keberadaan sebuah Pondok Baca
atau apapun namanya adalah hak mendasar peradaban manusia. Karena, seperti kata
Mark Twain, orang yang bisa membaca tapi tidak membaca buku sama nilainya
seperti orang yang buta huruf. Pepatah Cina mengatakan, "Jangan
mengutuk kegelapan. Mulailah dengan menyalakan sebatang lilin." *
*) dengan sedikit revisi, tulisan ini pernah dimuat di situs
www.rumahdunia.net.
Posting Komentar untuk "BUKU, PERPUSTAKAAN DAN KITA"