Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

LITERASI KEUANGAN, SEBUAH SOLUSI UNTUK PEREKONOMIAN

 


Beberapa tahun lalu ada bisnis yang bernama Triple M (Manusia Membantu Manusia/Mavrodi Manial Moneybox) banyak yang menjadi korban dari bisnis ini, dari yang nominal kecil sampai dengan Nominal yang besar. Setelah beberapa lama bertahan bisnis ini akhirnyapun tumbang. Setelah itu muncullah D4F (Dream For Freedom) begitu mudah meraup uang masyarakat dengan iming-iming investasi yang menguntungkan. Bisnis inipun dengan cepat meningkat tidak dalam waktu lama, Tawaran mereka begitu menggiurkan yakni memberikan hasil Investasi yang begitu tinggi sehingga banyak masyarakat tanpa pikir panjang mengeluarkan uangnya untuk berinvestasi dalam bisnis ini.

Namun seiring berjalannya waktu, hasil investasi yang tinggi seperti yang dijanjikan tersebut tidak sesuai harapan. Pasalnya, mereka merupakan salah satu pelaku investasi ilegal dengan skema ponzi atau piramida. Skemanya adalah anggota bisa mendapatkan uang jika ada anggota baru yang mengirimkan uang tapi ketika tak ada lagi yang mengirimkan maka permainan akan terhenti.  Saat ini yang lagi booming dan mengatasnamakan investasi adalah Vtube. Dari gerak – gerik dalam menjalankan bisnisnya, kegiatan ini sama seperti skema ponzi dan OJK juga mengatakan bahwa bisnis ini merupakan bisnis ilegal.

Selain itu yang saat ini lagi viral dan menjadi buah bibir dimana – mana adalah warga dari desa petani di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban baru-baru ini menerima uang pembebasan lahan untuk proyek kilang minyak Pertamina-Rosneft. Nominal yang diterima masing-masing keluarga nilainya tidak main-main, bahkan ada yang mendapat Rp26 miliar. Sempat viral warga Desa Sumurgeneng berbondong-bondong membeli mobil baru, totalnya diperkirakan mencapai 190 unit.

Dirangkum dari Kompas (20/02/2021), empat warga desa menceritakan bagaimana mereka membelanjakan uangnya.  Setelah dapat Rp15 miliar, seorang warga bernama Ali Sutrisno membeli 4 unit mobil. Ali beralasan ingin punya mobil seperti tetangganya. Selain itu, ada Wantono yang mengaku baru belajar menyetir setelah berhasil beli mobil. Uang senilai Rp24 miliar dipakai Wantono untuk ditabung, dibelikan tanah dan satu unit Mitsubishi Xpander. Siti Nurul Hidayatin membeli 3 unit mobil setelah mendapat Rp18 miliar. Siti juga akan berangkat haji bersama 8 anggota keluarganya, mendirikan TPA, dan menyimpan uangnya di deposito. Sementara itu, warga bernama Taim tidak beli mobil karena lebih memilih menabung dan punya lahan.

Viralnya  warga Desa di Sumurgeneng ini menjadi perdebatan di dunia maya atau di media sosial. Di Twitter, misalnya, ada kubu yang menganggap tindakan beli mobil kurang tepat karena harganya cenderung mengalami depresiasi dan biaya perawatannya tinggi. Kubu lain berpendapat bahwa hak warga desa berhak menikmati kekayaannya, karena mereka juga membeli aset-aset berharga lain seperti lahan pertanian, rumah, ternak, sampai simpanan deposito bank.

Sebelum warga menerima uang ganti untung pembebasan lahan, pihak Kecamatan Jenu sudah beberapa kali menyelenggarakan pelatihan yang difasilitasi Pertamina dan Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Airlangga, Surabaya, seperti diutarakan Camat Maftuchin Reza kepada Tempo pada Rabu (17/2). Sosialisasi bertujuan agar uang tidak dihabiskan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif, melainkan juga dialihkan ke dalam bentuk aset tanah, usaha dan pertanian supaya hasilnya kelak bisa dinikmati anak-cucu.

Penyuluhan kepada warga desa terdampak ganti rugi tersebut merupakan upaya otoritas setempat untuk mengedukasi publik akan pentingnya pengelolaan uang yang baik. Atau saat ini populer dengan istilah pendidikan finansial atau literasi keuangan. Menilik riwayatnya, inisiatif ini mulai digencarkan sejak awal tahun 2000-an oleh klub bangsa-bangsa kaya, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Sebenarnya apa sih Literasi Keuangan itu?

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan merupakan pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.

Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD (2016) mendefinisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan dan pemahaman atas konsep dan risiko keuangan, berikut keterampilan, motivasi, serta keyakinan untuk menerapkan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya tersebut dalam rangka membuat keputusan keuangan yang efektif, meningkatkan kesejahteraan keuangan (financial well being) individu dan masyarakat, dan berpartisipasi dalam bidang ekonomi.

Dikutip dari laman resmi OJK, literasi keuangan penting agar masyarakat dapat memanfaatkan layanan jasa keuangan sesuai kebutuhan, merencanakan keuangan dengan baik, dan terhindar dari risiko investasi dengan instrumen keuangan yang tidak jelas.

Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarag ini, kemampuan melakukan pengelolaan keuangan menjadi sangat penting. Tidak hanya agar tetap bisa bertahan hidup, namun juga menyiapkan diri menghadapi krisis perekonomian lebih buruk berpotensi terjadi di masa mendatang.

Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kristianti Puji Rahayu mengungkapkan bahwa literasi keuangan di kalangan milenial saat ini masih terbilang rendah.

Riset dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, kalangan milenial usia 18-25 tahun hanya memiliki tingkat literasi sebesar 32,1 persen, sedangkan usia 25-35 tahun memiliki tingkat literasi sebesar 33,5 persen.

Hasil survei literasi keuangan OJK tahun 2019, hanya 6% masyarakat yang memiliki dana pensiun, selebihnya menggantungkan kepada ahli waris.

Diolah dari Berbagai Sumber

Posting Komentar untuk "LITERASI KEUANGAN, SEBUAH SOLUSI UNTUK PEREKONOMIAN"