Tukang Sablon
Tukang Sablon
Saiman masih duduk menatap screen berbingkai dan rakel yang menempel di tembok kiosnya. Sudah delapan bulan musim kampanye kali ini berlalu, namun belum ada satu partai pun yang memesan keperluan kampanye. Padahal, kampanye kali ini berbeda dengan musim kampanye yang sudah-sudah. Selain lama waktu yang menggunakan perhitungan wanita hamil, yakni sembilan bulan, kampanye kali ini diikuti puluhan partai.
Beberapa musim kampanye yang lalu, ketika hanya ada tiga partai, usaha keluarga Saiman mengalami puncak kejayaan. Apalagi ketika itu orderan kaos dan umbul-umbul dari Partai Beringin Karya terus membanjiri meja kerjanya. Berton-ton banyaknya. Hingga setiap usai pemilu, Saiman bisa menunaikan haji ke tanah Mekkah.
Agaknya, perubahan peta politik di negeri ini membuat usaha Saiman ikut berubah. Hingga suatu hari dia hanya mencetak kaos-kaos orderan anak punk. Sekali dua kali, dia mencetak logo pengajian ibu-ibu tingkat RW atau spanduk seminar mahasiswa yang keuntungnya sama-sekali minim, dan seterusnya.
Detik berlalu mengganti menit, hingga hitungan bulan. Hanya satu dua partai yang sempat datang ke tempat praktiknya. Namun begitulah, selain hanya sekadar menanyakan ongkos produksi, partai yang datang pun adalah partai kecil dengan jumlah orderan yang kecil pula.
“Pfuh,” keluh Saiman sambil menyeka keringat wajahnya dengan lengan kaos oblong bergambar lanskap Kota Jogja.
“Mudah-mudahan hari ini si Karyo singgah,” ujarnya dengan wajah berkerut. Lelaki paruh baya itu kemudian berpindah duduk ke depan kiosnya.
Angin siang berhembus dari balik seliweran angkot yang melintas di depan kiosnya. Saiman menahan kantuk. Matanya masih keliaran diantara orang-orang yang lalu lalang di tepi jalan.
Dua hari yang lalu memang sempat ada pembicaraan soal order sejumlah kaos dari Partai Bintang di Hati Rakyat atau biasa disingkat Partai Barat. Namun ketika itu belum disepakati jumlah orderan dan harga yang pantas. Kepada Solihin, asistennya, Saiman sempat menggerutu.
“Sebenarnya saya tak begitu memusingkan soal ideologi. Tapi Partai Barat ini…”
“Memangnya kenapa Bang Haji?” tanya Solihin. Dadanya kembang kempis mengatur udara yang masuk mengisi paru-parunya.
“Ah, sudahlah. Yang penting kau tahu saja…” ujar Saiman terputus.
***
Saiman masih menunggu Karyo. Sementara dua pembantunya masih mengerjakan sparasi dan undangan dalam jumlah pesanan yang kecil. Iya, undangan pesta nikahan.
Dahulu Saiman sempat memiliki duabelas orang pembantu, serta peralatan cetak yang sudah modern di zaman itu. Tapi itu cerita lalu, ketika Partai Beringin Karya atawa biasa disingkat Partai Berkarya masih menguasai pemilu dan selalu memesan ribuan kaos cetak.
Sekarang sudah beda. Sepuluh pekerjanya sudah mandiri. Bahkan sebagian dari mereka ada yang membuka usaha cetak sendiri. Termasuk Solichin, yang kemarin sore memutuskan berhenti.
“Bang Haji,” ujar Solichin, “susu anak saya yang bungsu belum dibeli. Saya…” keluh Solichin.
“Kenapa Solichin?” tanya Saiman.
“Tidak Bang Haji, saya ditawari kerja di tempat lain,” sambung Solichin dengan wajah yang kuyu. Saiman masih mendengar keluhan pekerjanya itu.
“Tapi besok si Karyo akan datang, kau di sini dulu lah. Barangkali jumlah ordernya besar,” kata Saiman mencoba memberi pengertian.
“Saya minta maaf Bang Haji, saya sudah janji akan bergabung di sana. Saya tak mungkin lagi menolak Bang Haji,” suara Solichin sayup-sayup terdengar.
Saiman pun kecewa. “Kalau sekadar beli susu ataupun keperluan anakmu, kau bisa meminta saja,”
“Saya sudah menjadi pengurus ranting Partai Barat…” ujar Solichin dengan nada yang datar. Saiman henyak.
***
Sebuah mobil berhenti di depan kios Saiman. Saiman menjorokkan tubuhnya memastikan siapa yang datang. Dari dalam mobil turun Karyo. Dengan dandanan dendi, tak lupa kaca mata hitam ala hunter menempel di atas rambutnya. “Bang Haji!” seru Karyo.
Dengan tawa dipaksa, Saiman menyongsong kedatangan Karyo. “Waalaikumsalam,” ujar Saiman sambil menyodorkan tangan kanannya memersilakan Karyo masuk.
“Sepi Bang Haji,” Karyo berbasa-basi. Saiman mengangguk sambil memerintahkan seorang pembantunya membersihkan sisa potongan kertas yang berserakan di atas lantai.
“Yah, beginilah, cuma orderan undangan dengan partai kecil,”jawab Saiman bersungut-sungut sambil mengambil duduk di belakang meja. Karyo menarik nafas sejenak, kemudian ikut mengambil duduk di depan meja. Mereka pun duduk berhadapan.
“Jadi?” tanya Saiman.
“Iya Bang Haji. Kemarin itu saya dapat proyek mencetak dua ribu kaos kerah. Tapi buat petinggi-petinggi itu,” jawab Karyo.
“Iya, saya punya bahan yang bagus. Tebal tapi dingin dan meresap keringat. Cocok untuk untuk petinggi dan jurkam Partai Berkarya. Jenis polyster juga ada. Tinggal cetakannya, mau dengan pigmen , plastisol atau foam ? Yang flocking juga ada,” ujar Saiman dengan semangat. Karyo diam saja sambil terus menajamkan tatapannya ke arah Saiman.
“Saya punya desain khusus untuk menambah tampilan pada kaos. Jadi petinggi dan jurkam Partai Berkarya punya nilai lebih dalam penampilan. Bukankah penampilan itu sebuah strategi?” papar Saiman sambil memerintahkan anak buahnya mengambil contoh kain.
Karyo merobah posisi duduknya jadi sedikit menyamping. Disilangkannya kaki kirinya di atas lutut kanan.
“Terus untuk kader Partai Berkarya gimana? Apakah proyek buat itu ada di sampeyan juga?” tanya Saiman. Karyo berdehem. Raut wajahnya semakin kecut.
Seorang pembantu Saiman datang menghampiri dengan membawa contoh jenis kain. “Nah ini dia, saya punya harga khusus buat sampeyan,” kata Saiman membentang jenis kain. Karyo bergeser kembali menghadap Saiman.
“Solichin dimana?” tanya Karyo sambil memerhatikan langkah pembantu Saiman yang membawa contoh kain.
“Ah, tak tahu diuntung dia!” damprat Saiman. Tiba-tiba cuaca siang itu semakin panas.
“Kenapa bang Haji?” tanya Karyo.
“Dia pergi dan jadi kader Partai Barat,” tukas Saiman dengan wajah masam.
“Nah, apa-apaan itu? Dia banting setir?” tanya Karyo sambil menggerak-gerakkan cuping hidungnya.
“Saya sudah bilang, ini bukan sekadar masalah ideologi. Saya sudah katakan, kalau memang mau main di partai monggo, tapi jangan partai itu. Partai itu kan komunis yang nyaru,” ujar Saiman. Karyo diam. Menunggu umpatan Saiman selanjutnya.
“Begitu ya Bang Haji?” sambung Karyo sejurus.
“Iya, bahkan sejak Zaman Baru. Meskipun ganti nama tetap saja komunis. Sekali komunis tetap komunis,” tambah Saiman dengan nada tinggi.
“Tapi Bang Haji, sekarang mereka kuat. Bahkan Partai Berkarya mulai tergangggu suaranya,” potong Karyo.
“Mau kuat kek, tetap saja. Saya kenal isi perut orang-orangnya. Apalagi si Solichin. Gara-gara tidak saya kasih pinjaman langsung masuk Partai Barat. Itu artinya kader Partai Barat memang orang-orang brengsek, seperti si Solichin. Sontoloyo!”geram Saiman. Karyo mengangguk. Bibir tebalnya mengembang.
“Mas Karyo, sampeyan ngerti, saya ini hanya pemilik sablonan. Tidak ikut-ikut pusing soal partai. Semakin banyak partai, saya senang. Semakin lama kampanyenya saya gembira. Kalau perlu sepanjang tahun kampanye. Tapi…”
“Tapi kenapa Bang Haji?”
“Ah tidak. Ini soal keyakinan saja. Sejujurnya saya tidak suka dengan partai itu, makanya saya selalu tolak orderan dari partai itu. Mendingan terima order dari partai gurem, biar kecil jumlahnya, yang penting bukan komunis,”lanjut Saiman.
“Ah, tapi ‘kan Bang Haji cari uang dari sablon. Kok malah nolak rezeki?”
“Saya bukan nolak rejeki mas Karyo,” ujar Saiman sambil menyerahkan sampel kain bakal kaos yang akan disablon.
“Jadi kalau bukan nolak rejeki, lantas apa?” tanya Karyo mendekatkan wajahnya ke arah Saiman.
“Saya mau mengajarkan soal sikap kepada pegawai-pegawai saya,” tambah Saiman.
“Lha? Sikap? Memangnya tukang sablon punya sikap?” tanya Karyo sambil meraih dan meraba sebuah sampel kain.
“Iya, punya. Termasuk menolak orderan partai Barat,” cetus Saiman dengan singkat. Wajahnya dibuang ke arah jalan.
Di luar angin siang menerbangkan debu dan sampah yang berserakan di jalanan.
“Ck,ck,ck, luar biasa. Sikap Bang Haji layak ditiru pegawai lain,” geleng Karyo sambil tangannya terus memilah dan memeriksa sampel kain.
“Jadi gimana, sudah ketemu bahannya?” tanya Saiman mengingatkan. Karyo tersenyum kecut, sambil meletakkan kembali sampel kain yang ada di atas meja.
“Begini Bang Haji,” kata Karyo sambil meletakkan sampel-sampel kain kembali ke atas meja. “kedatangan saya ke sini sebenarnya mau mengabarkan, kalau order dua hari lalu belum bisa diputuskan,” ujar Karyo dengan suara yang pelan. Saiman menahan nafasnya. Dikerutkannya dahinya hingga matanya yang sipit nyaris terlihat memejam.
“Maksudnya?” tanya Saiman setelah sempat tertegun beberapa detik.
“Pengurus cabang sudah menunjuk orang lain untuk proyek baju petinggi partai,”
“Lalu?” tanya Saiman dengan nada kecewa.
“Saya kebagian kerja mengurus bendera dan umbul-umbul partai. Tapi tenang Bang Haji, orderannya kali ini jumlahnya cukup banyak. Soalnya basis kami di Kota A siap bergerak dan turun pada minggu-minggu akhir masa kampanye,” ujar Karyo sedikit membujuk.
“Begitu saja?”
Karyo menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Iya, saya akan mengabari Bang Haji dua hari lagi.”
***
Beberapa minggu sejak kabar dari Karyo diterima, kios Saiman semakin sepi. Sudah tak kelihatan pula dua pekerjanya. Konon dua pekerja Saiman yang tersisa itu memilih masuk partai dan ikut merayakan pesta lima tahunan.
***
Sore ini, lelaki kurus setengah baya duduk di atas kursi kecil. Tangan kirinya yang kotor akibat tumpahan super tinner menggenggam hair dryer. Sementara tangan kanannya sibuk mengatur garis pola baju.
“Assalamualikum Bang Haji,” seru seseorang dari luar. Suaranya nyaris hilang terbawa hujan yang sejak siang turun dengan deras.
Saiman menoleh ke belakang. Tatapannya menelusuri pintu kiosnya yang terbuka. “Waaalikumsalam,” jawab Saiman tak seberapa lama.
Solichin masuk sambil mengibas-kibaskan bajunya dari tempias air hujan. Saiman bangkit, dengan tatapan tajam dipandanginya Solichin dari kaki hingga ke ujung kepala.
“Ada apa?” tanya Saiman.
“Berkunjung Bang Haji,”jawab Solichin sambil berdiri gugup memandang Saiman.
“Berkunjung? Berkunjung ya?”
“Iya Bang Haji, saya rindu suasana di sini,”
“Hm, mau kembali bekerja?”tanya Saiman mengejek.
“Tidak Bang Haji, cuma mau nawarin orderan,” balas Solichin dengan nada yang datar.
“Apa?”
“Iya Bang Haji, saya dapat proyekan membuat baju dan bendera partai,”
“Kamu dapat proyekan?” tanya Saiman tak percaya. “memangnya kamu sudah punya massa? Punya basis?” tanya Saiman sinis.
“Sudah Bang Haji”
“Dimana?” tanya Saiman sambil menyambar handuk kecil yang tergantung di dekat pintu masuk. Sambil melangkah mendekati Solichin lelaki itu membersihkan tangannya dari tumpahan super tinner.
“Kota A,” jawab Solichin. “malah teman-teman kita dulu yang kerja di sablon ini membantu saya menggalang massa di sana,” sambung Solichin sambil memberanikan diri melangkah masuk.
“Ah, yang benar? Kamu bergurau? Bukankah Kota A itu basisnya Partai Berkarya?”tanya Siaman ingin memastikan.
“Alhamdulilah Bang Haji, dalam tempo sebulan, massanya berhasil digembosi. Malah sekarang aktivisnya pada lompat pagar” terang Solichin dengan senyum kemenangan.
“Lompat pagar? Maksudnya?”
“Partai Berkarya masih menerapkan gaya politik Era Zaman Baru. Kebijakan partainya masih mendahulukan orang-orang lama. Mereka tidak memberi tempat bagi anak muda, jadi.. ya… mereka masuk partai kami Bang Haji,” kata Solichin.
“Naudzubillahimindza lik!”seru Saiman sambil memelototkan sepasang biji matanya.
“Meski sama-sama partai warisan Zaman Baru, tapi partai kami lebih mendapat simpati, karena Partai Barat pernah dzalimi partai penguasa pada masa Zaman Baru,”sambung Solichin membanggakan partainya.
“Allahuakbar, pergi kau!”hardik Saiman sambil mengusir Solichin keluar dari kiosnya.
“Tapi Bang Haji…”
***
Menjelang senja hujan masih turun. Di luar, jalanan mulai merangkak sepi dari orang-orang yang lalu-lalang.
Sebuah mobil angkutan umum berisi massa kampanye melintas di depan kios Saiman. Sementara sisa sorak sorai massa masih terdengar menyusup dari balik suara tetes hujan dan sayup azan.
Di dalam kiosnya Saiman terus menyemprotkan udara panas dari hair dryernya ke kain yang telah dicetak. Lelaki kurus itu sadar kalau pada musim kampanye kali ini dia tak akan mendapatkan orderan dari partai mana saja. Mungkin.
Posting Komentar untuk "Tukang Sablon"