SEJARAH PUNGUTAN PAJAK
SEJARAH PUNGUTAN PAJAK
Saat ini seluruh negara di dunia,
termasuk Indonesia, memungut pajak dari masyarakat sebagai pendapatan negara yang digunakan untuk pembangunan negara.
Namun, sistem tersebut terkadang memberatkan masyarakat khususnya di Indonesia.
Penderitaan rakyat seharusnya tak serta merta ditunjukkan kepada negara, tapi
juga pencipta sistem pajak pertama. Tercatat ada dua orang yang memperkenalkan
sistem pajak termasuk di Indonesia. Siapa saja?
Firaun
Firaun merupakan Pencipta Pajak
pertama di Dunia, Sekitar 300 SM peradaban Mesir yang dipimpin oleh Firaun
menciptakan sistem pungutan negara kepada rakyat, yang kini dikenal sebagai
sistem pajak. Firaun mengenakan pajak atas barang-barang, seperti gandum,
tekstil, tenaga kerja, dan berbagai komoditas lain. Biasanya, hasil pungutan
pajak dialihkan untuk modal pembangunan dan menjaga ketertiban sosial. Firaun
tak menerapkan mekanisme sama rata dalam pemungutan pajak, tapi sistem
penyesuaian. Maksudnya, besaran pajak disesuaikan dengan kemampuan finansial
objek pajak.
Sebagai contoh ketika memungut
pajak ladang. Firaun menetapkan pajak tinggi jika ladang tersebut sangat
produktif atau memiliki hasil panen melimpah. Sementara yang non-produktif
dikenakan pajak lebih rendah. Keberadaan sistem pajak membuat semua warga Mesir
harus kerja ekstra supaya pendapatannya tidak habis hanya akibat pajak. Meski
begitu, pada sisi lain sistem pajak ini sukses menambah pendapatan negara.
Akhirnya, warisan pemungutan atau potongan penghasilan diterapkan banyak negara
modern sampai dengan sekarang ini.
Thomas Standford Raffles
Di Indonesia Orang Pertama yang
memperkenalkan Pajak Adalah Thomas Standford Raffles. Hal ini dilakukan setelah
ribuan tahun dicetuskan Firaun, sistem pajak baru hadir di Indonesia pada 1811
saat masa penjajahan Belanda. Kala itu, pajak diperkenalkan oleh Thomas
Stanford Raffles yang datang ke Hindia Belanda atas nama Kerajaan Inggris.
"Raffles (1811-1816) adalah
penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di
Indonesia (Hindia Belanda). Inggris, dan koloninya, menurut dia, harus dibiayai
dengan pajak. Konsep pajak dilahirkan olehnya," tulis sejarawan Ong Hok
Ham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018). Secara teori, Raffles
menganggap Inggris memiliki hak atas semua tanah menggantikan kepemilikan
raja-raja di Jawa. Dengan demikian, para petani yang memiliki tanah atau
bekerja di tanah orang harus membayar pajak tanah. Hanya saja, praktiknya bukan
seperti upeti melainkan berupa uang dan berlaku secara individual.
"Pajak tanah Raffles adalah
atas petani individual dan bukan atas desa atau wilayah. Dan berupa uang,"
tulis Ong Hok Ham. Meski begitu, Raffles tak merasakan hasil dari idenya
menerapkan sistem pajak di Pulau Jawa. Sebab dia sudah harus pergi dari Hindia
Belanda pada 1816. Setelahnya, pajak diterapkan secara ketat oleh para penguasa
baru. Barulah tahun 1870, pemerintah kolonial memperkenalkan pajak pribadi,
pajak usaha, hingga pajak jual beli. Lalu, target pajak juga tak hanya menjerat
pribumi jelata, tapi juga orang Eropa dan pribumi kaya raya. Namun, tetap saja,
pribumi menyumbang pajak terbesar ke pendapatan pemerintah Hindia Belanda saat
itu. "Kira-kira dasawarsa pertama abad ke-20, penduduk pribumi yang
sebagian besar terkena pajak tanah, menyumbang 60% penghasilan Hindia
Belanda," tulis Ong.
Namun, sistem pajak era kolonial
hanya menguntungkan pemerintah. Sebab tak ada timbal balik dari negara,
sehingga menimbulkan kesan kalau rakyat diperas pemerintah. Beranjak dari
permasalahan ini, negara modern sekarang ini mengubah konsep pajak. Tak hanya
untuk menambah pendapatan, tetapi sebagai sarana pemerataan dan peningkatan
kesejahteraan. Masalahnya, 200 tahun lebih diterapkan di Indonesia, tujuan
penerapan pajak masih jauh dari harapan. Malah, membuat rakyat makin menjerit
karena tak mendapat timbal balik sepadan.
Saat ini Pajak merupakan salah
satu sumber penerimaan yang sangat penting untuk pembiayaan pengeluaran negara
baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pada dasarnya tidak ada
seorang pun yang secara suka rela dan senang untuk membayar pajak karena para
Wajib Pajak merasa bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan timbal balik dari
jumlah pajak yang mereka bayarkan. Pajak yang di bebankan pemerintah kepada
Wajib Pajak menimbulkan perbedaan kepentingan, karena bagi wajib pajak,
membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis dan laba mereka. Perbedaan
kepentingan ini cenderung memancing Wajib Pajak untuk mengurangi beban pajaknya
baik secara legal maupun illegal, hal ini juga di mungkinkan oleh masih
banyaknya celah peraturan perpajakan yang masih dimanfaatkan oleh sumber daya
manusia petugas pajak (fiskus) untuk melakukan praktek Korupsi, Kolusi,
Nepotisme (KKN) dengan Wajib Pajak yang tidak jujur. Kita berharap kedepan
Pajak yang dibayar masyarkat dapat Kembali kepada Masyarakat guna tercapainya
kesejahteran Masyarakat. (di sadur dari berbagai Sumber)

Posting Komentar untuk "SEJARAH PUNGUTAN PAJAK"