Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

HIDUP BAGAIKAN MENDAKI BUKIT

 

KEHIDUPAN BAGAI MENDAKI BUKIT

Kehidupan ini bagaikan sebuah perjalanan naik menuju puncak bukit, perjalanan nan melelahkan, apalagi jika untuk naik tersebut kita harus melewati jalanan yang sangat sulit seperti Jalanan yang terjal, becek dan licin, penuh semak belukar. Akan tetapi ketika jalanan-jalanan hutan dan bukit lenyap diganti dengan aspal, beton serta infrastruktur transportasi yang makin canggih, pengalaman naik bukit atau pengalaman ke puncak tadi menjadi pengalaman yang sangat langka. Lebih buruk lagi, pengalaman seperti ini toh tidak selalu didambakan oleh semua orang.

Kalau mau jujur, dengan segala kemudahan yang kita terima dari kemajuan
teknologi tidak sedikit dari kita yang lebih suka memburu yang enak, aman dan nyaman; mendapatkan sesuatu, semudah dan secepat mungkin mencapai hasil tanpa harus merugi atau mengalami sakit. Ini mirip dengan prinsip ekonomi dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya sedapat mungkin mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Dan memang prinsip itu sedang menjadi trend di era millenial sekarang ini yang dengan mudah melumat habis prinsip dan keutaman luhur seperti kejujuran, kerja keras, pengorbanan

Saya disini tidak anti teknologi, Saya hanya mengajak anda dalam segala dimensi hidup
anda, menyadari fungsi teknologi sebagai sarana, tidak pernah menggantikan peran utama manusia sebagai Pelaku kehidupan. Untuk mendaki bukit pun kita tetap butuh sarana, sepatu yang kuat, tali dan tongkat, simpul plus bekal secukupnya untuk makan/minum. Lalu, hal apakah gerangan yang telah mendorong banyak orang terutamanya para pencinta Alam, termasuk para penakluk-penakluk bukit yang terkemuka, untuk tetap mendaki bukit? Saya yakin satu hal yang sama adalah ketika melihat bukit, bukit dan puncak hampir semua seolah-olah dipanggil untuk naik agar kita bisa melihat hal-hal lain yang belum kita ketahui di tempat lain secara lebih baik, agar kita juga bisa melihat tempat kita berada secara lebih luas daripada ketika kita sedang berada di bawah - ketika padangan kita terbatas. Suatu pengalaman baru yang kita dapat, untuk beralih dari kegiatan rutinitas harian. Sehingga pengalaman naik bukit dapat merilekskan pikiran.

Naik ke puncak bukit adalah gambaran lain dari transendensi, kita ingin melampaui diri kita. Puncak bukit nampak seperti mengundang dan menarik kita untuk mengalami dan merasakan cakrawala/sikap pandang luas seperti yang dimilikinya. Di bukit kita bisa menyaksikan munculnya mentari secara lebih luas, matahari pertama, dan kita bisa memandang kenyatan di bawah kita, termasuk di tempat di mana kita pernah berdiri dan hidup secara lebih berbeda, dengan detail yang lebih lengkap, juga hubungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain.

Dan Tujuan mendaki bukit Untuk memperoleh cakrawala baru, kita mesti
berjalan naik,  menyusuri semak belukar kekuatiran, melewati tanah lapang dan tempat teduh kesenangan yang sebentar-sebentar kita temui dalam perjalanan sekaligus menolak godaan untuk menjadikan tempat teduh sementara itu sebagai puncak; bahkan godaan untuk berhenti dan berbalik arah. "Dengan akal dan kebebasan kita", sudah cukup bagi kita untuk menciptakan keselamatan bagi diri kita sendiri. Begitu juga ketika kita menjalani hidup tak ubahnya mendaki bukit. Ketika baru mulai melangkah, mendaki akan terasa begitu jauh, tinggi, dan berat untuk sampai ke puncak. “Agar bisa sampai puncak, kita harus fokus pada setiap langkah, satu demi satu. Bila memiliki tujuan dan keinginan untuk mencapainya, Anda tentu tidak akan berhenti sampai tujuan itu tercapai.

Orang yang akan mencapai puncak atau mencari kejayaan akan jarang sekali melihat kebawah, atau mencoba merasakan kembali bekas luka yang pernah di alaminnya. Sedangkan ketika kita telah sampai puncak gunung. Kita akan cendrung enggan untuk turun, karena kita telah merasa nyaman di puncak, karena ketika kita akan turun gunung, yang kita bayangkan adalah kita akan merasakan kaki yang sangat pegal. Setelah itu untuk menurunin gunung, kita akan selalu melihat keatas, dan selalu mencoba mengingat keindahan sewaktu berada di atas awan. Seperti kehidupan ketika kita diturunkan atau dilengserkan kita akan sangat kecewa dan sangat tak ingin meninggalkan jabatan itu, kita akan selalu merasa bersalah ketika kita melepaskan jabatan itu, kita akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh harta ataupun penghormatan dari jabatan tersebut.

Tapi dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali penyelewengan dari sebuah makna mendaki gunung dalam kehidupan kita. Coba lihat orang yang memiliki jabatan, mereka akan merasa arogan ketika mereka berada di puncak jabatannya, bahkan tidak akan inget ketika mereka di pilih oleh rakyat, untuk melayani rakyatnya. Memang sudah lazim kalau orang berada di puncak akan lupa didaerah bawahnya. Hahaha aku sih cuma ketawa, hidup itu cuma bisa saya ketawain. Dan hehehe...dan hehehe....

Memang susah kalau kita membahas yang namanya pejabat dan yang namanya jabatan?., takut salah nulis yang ada malah saya di campakkan atau lebih parahnya di jeburin di teralis besi. Cukup untuk membahas yang namanya mendaki gunung saja, arti dalam artian seperti harfiahnya adalah yang pernah kita rasakan dalam hati kita sendiri, kita akan merasakan sendiri ketika kita mendaki gunung. Belajar hidup untuk menjalanin hidup yang lebih baik. Bukan belajar hidup untuk melanjutkan hidup yang belum terselesaikan.

Posting Komentar untuk "HIDUP BAGAIKAN MENDAKI BUKIT"