DI BALIK WAJAH TEDUH
Dan setelah dia menyelesaikan doanya,
aku akan segera mencium tangannya, juga kedua pipinya. Hhm... Wangi sekali. Dan
seperti biasanya dia hanya akan tersenyum, apalagi jika kugoda dengan ucapan,
cantik sekali hari ini. Ingin tertawa
rasanya jika mengingat wajahnya saat itu. Oya, dia memang jarang berbicara,
karena dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Dia hanya bisa berbahasa jawa. Dia
adalah nenekku...
Umurnya sudah mencapai 1 abad, melebihi
umur bangsa ini jika dimulai dari kemerdekaannya. Sehingga dia termasuk saksi
hidup pergiliran generasi di negeri ini, sejak zaman penjajahan, hingga zaman
reformasi. Tapi kujamin jika kau lihat langsung dirinya, kau akan
terkagum-kagum dibuatnya. Bagaimana tidak? Dengan umur segitu, fisiknya masih
bagus. Dia tidak memerlukan tongkat atau kursi roda untuk berjalan. Dia bahkan
mencuci beberapa pakaiannya sendiri. Penglihatan dan pendengarannya juga masih
bagus.
Dia bisa mengenali lima cucunya dengan
baik, tanpa tertukar. Begitu juga ingatannya. Dia masih bisa bercerita tentang
masa kecilku, yang membuatku tersenyum karenanya. Dia senang sekali
mengulang-ulang perkataan yang seringkali kuucapkan saat kecil jika aku
melakukan sebuah kesalahan, Ga sengaja..
ga sengaja kok. Dan yang paling hebat
adalah, dia bisa menyebutkan satu persatu hari kelahiran (hari jawa, seperti
senin paeng dan sebagainya) cucunya dengan baik. Tidak cuma lima cucunya dari
ibuku, karena ibuku adalah anak bungsu. Semua cucu-cucu dari semua
anak-anaknya! Jumlahnya mungkin mencapai sekitar 25-an.
Tapi itu semua tidak terlalu
menakjubkan bagiku, dibandingkan hal ini. Dia suka sekali bersedekah. Uang yang
didapat dari cucu-cucunya selalu ia simpan dengan rapi. Hanya digunakan
seperlunya saja, untuk dibelikan jamu atau balsem kesukaannya. Sebagian besar
dia sedekahkan. Seringkali dia menitipkan uang untuk kusedekahkan ke masjid
atau ke orang-orang yang memerlukan, dengan mewanti-wanti supaya aku tidak
menceritakannya kepada ibuku.
Dia juga suka melakukan shaum (puasa) sunnah. Begitu juga shalat malam, bahkan
membuatku malu sebagai laki-laki yang masih kuat dan sehat. Biasanya saat
bangun tengah malam, dia akan mandi terlebih dahulu, dengan air panas di termos
yang sudah disediakan adik perempuanku, yang diletakkan di dekat tempat
tidurnya.
Mungkin pola hidup seperti itulah yang membuatnya tetap sehat di usianya.
Ditambah satu rahasia lagi, yang baru kutemukan belakangan: hatinya selalu
tulus, dia tidak pernah mendengki terhadap orang lain. Tak pernah kudengar
ucapannya terhadap orang lain (dalam Islam disebut ghibah). Itu membuatnya
menikmati hidup. Selalu tersenyum dan tidak pernah bermasalah dengan orang
lain. Bahkan semua orang menyukainya.
Posting Komentar untuk "DI BALIK WAJAH TEDUH"