Konsekuensi Kerja
Konsekuensi Kerja
Dalam banyak kamus bahasa, uang diberi pengertian yang itu-itu juga. Ia disebut
sebagai alat pembayaran yang sah, dibuat dari logam ––emas, perak, atau
lainnya–– atau barang cetakan dan dipergunakan sebagai ukuran nilai/harga
sesuatu, diberi dan diterima dalam jual beli. Jika kata uang dilacak asal usulnya,
maka John Ayto menyebutkan beberapa kata seperti moneta (Romawi Kuno), monere
(Latin), moneie (Perancis), dan money (Inggris), sebagai cikal bakal atau nenek
moyang istilah uang. Mungkin akan lain halnya jika sejarah uang ditulis menurut
orang Tiongkok Kuno, atau Yahudi dan Arab. Dan ketika dunia mulai mengenal uang
plastik, maka pengertian credit dan debet card sebagai alat pembayaran yang sah
dan diterima di banyak tempat mesti ikut dimasukkan.
Apakah uang ––terlepas dari berbagai varian bentuknya–– hanya berfungsi sebagai
alat pembayaran yang sah? Mungkin tidak. Uang juga berfungsi sebagai simbol
dari kemakmuran seseorang. Dengan uang, banyak hal bisa diperoleh, termasuk
kekuasaan dan (maaf) seks.
Hubungan antara uang dengan kekuasaan mungkin tersirat dari perkataan Deng Xiao
Ping, "money talks loudly". Ya, uang bisa berbicara nyaring. Dalam
kancah politik, uang dapat dipergunakan untuk membeli suara, membeli kedudukan
dan pengaruh. Tak penting apakah sebuah negara menganut kapitalisme ––dengan
atau tanpa kepedulian sosial sekalipun–– ataupun komunisme, uang memainkan
peran yang sama pentingnya. Tanpa uang atau likuiditas dalam jumlah tertentu,
sebuah pemerintahan bisa ambruk diterpa badai krisis seperti yang kita alami di
Indonesia beberapa tahun terakhir.
Hubungan antara uang dengan seks, amat jelas. Seks bisa dibeli dengan uang atau
orang bisa menjual seks untuk mendapatkan uang. Tentu seks yang demikian
haruslah dibedakan dengan (sebab ia bukan) cinta, sama seperti membeli kasur
mewah dan empuk tak menjamin bisa tidur nyenyak.
Dalam hubunganya dengan kemakmuran, jumlah uang yang dimiliki seseorang,
misalnya, dapat menjamin pola hidup seperti apa yang dapat tetap dijalaninya
sekalipun ia kehilangan nafkah utama pada suatu saat (di-PHK atau pensiun,
misalnya). Dengan jumlah tabungan dalam jumlah tertentu (besarnya relatif),
orang tak perlu khawatir bila harus kehilangan pekerjaan. Apalagi bila ia
pandai menginvestasikan harta kekayaannya itu dengan bijaksana.
Karena `daya guna' uang yang besar itulah maka tak heran jika kebanyakan orang
bekerja untuk mendapatkan uang. Masalahnya, apakah tujuan aktivitas yang
disebut kerja itu hanya untuk memperoleh uang? Saya kira tidak. Setidaknya karena
saya lebih menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa uang adalah salah satu
konsekuensi dari bekerja. Artinya, bila kita bekerja, maka salah satu
konsekuensi yang mengikutinya adalah terbukanya kesempatan untuk mendapatkan
uang sebagai imbalan.
Karena uang adalah salah satu konsekuensi (bukan `salah semua'), maka uang
seharusnya tidak perlu dipandang sebagai tujuan akhir dari bekerja. Orang
(kita) bekerja untuk mendapatkan uang. Ya. Tetapi bukan Cuma itu. Orang juga
bekerja untuk dapat bersosialisasi,bergaul, dan mendapatkan teman. Orang
bekerja juga untuk mengembangkan identitas diri, untuk menambah pengetahuan, meningkatkan
keterampilan, dan mengabdikan diri. Bekerja dapat merupakan ekspresi dari
keinginan beribadah kepada Tuhan, atau ungkapan rasa syukur karena dipercaya melaksanakan
sebuah amanah yang agung dan suci.
Pandangan yang mengatakan bahwa satu-satunya alasan orang bekerja adalah untuk
memperoleh uang menunjukkan kurangnya kearifan dalam memaknai pekerjaan itu
sendiri. Ini menunjukkan falsafah hidup yang tidak lengkap.
Bukankah demikian?[aha]
Sumber: Konsekuensi Kerja oleh Andrias Harefa, seorang writer,
trainer, dan speaker.
Posting Komentar untuk "Konsekuensi Kerja"