TEMAN DI PRANCIS

TEMAN
DI PERANCIS
Sonia Choquette
Saya sangat terpesona dan bermimpi untuk bisa pergi ke Perancis Selatan.
Keinginan ini begitu kuat dan tertanam dalam hati. Semakin saya membayangkan
pergi ke sana, saya merasakan adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya.
Saat saya menjadi pramugari, saya bertemu dengan seorang kru pesawat yang
tinggal di propinsi Aix saat kuliah. Saya menceritakan keinginan saya, dan
dia memberitahukan nama keluarganya saat dia tinggal delapan tahun lalu. Dia
memberikan kertas sebuah kertas catatan dan berkata, "Jika kamu ingin
pergi
ke sana, hubungi keluarga saya dan sampaikan salam saya."
Kertas catatan itu menjadi pemicu utama mimpi saya. Saat menerima kertas
itu, saya segera memutuskan untuk pergi ke Perancis. Saya membayangkan
menyewa sebuah ruangan di Aix dari keluarga ini dan tinggal di sana selama
saya bisa. Bayangan saya melayang ke mana-mana: ladang bunga levender,
tanaman obat-obatan, minuman wine dan keju.
Saya tahu harus pergi, tapi saya tidak bisa pergi sendirian. Saya memutuskan
untuk meyakinkan sahabat saya Heidi untuk menemani saya. Sekarang semua
impian saya sudah mulai akan terwujud, tinggal rencana pelaksanaannya saja.
"Heidi, ayo ikut dengan saya," kata saya. "Saya punya teman di
Perancis. Ini
akan menjadi pengalaman yang hebat!" Saya tidak berbohong. Saya mempunyai
secarik kertas, dan terasa sangat bersahabat.
Saya menggoda Heidi dengan impian saya, dan dengan jaminan kertas dari
"seorang teman", itu membuat saya mudah mengajak Heidi untuk ikut.
Saya
mengambil cuti dari pekerjaan, dan dua bulan kemudian kami terbang ke
Perancis.
Saya sudah belajar bahasa Perancis saat kuliah dan berkata pada Heidi bahwa
saya bisa berbicara bahasa Perancis (walaupun kenyataannya saya tidak bisa
berbicara dengan lancar). Tetapi itu tidak menjadi masalah. Angan-angan saya
penuh dengan gambaran indah tentang teman-teman di Perancis dan kegembiraan
akan bisa saya dapatkan. Kami mengepak pakaian di ransel punggung dan masih
tersisa lima ratus dollar - sebuah keberuntungan kecil untuk kami.
Kami berada dalam romantisme, sebuah petualangan yang mahal dan kegembiraan
yang meluap saat tiba di Paris. Kami memutuskan untuk tinggal satu hari saja
di sana.
"Menuju ke Selatan, untuk menyongsong kehidupan yang baik!" kami
bernyanyi,
saat menaiki kereta api express di stasiun Gare de Lyon.
Setengah jalan antara Lyon dan Marseilles, Heidi sekarang menderita serius
karena gegar budaya dan jetlag, menanyakan tentang keberadaan teman saya di
Aix. Uh-oh. Saya dalam masalah besar. Saya menjelaskan bahwa saya belum
bertemu dengan mereka, tapi tidak usah kuatir.
Heidi sangat cemas.
Dengan berpegang teguh pada impian saya, kami turun dari kereta, menyeberang
jalan untuk mencari hotel yang murah sesuai dengan petunjuk di buku Michelin
yang saya bawa. Tengah malam kami sampai di Marseilles, dan masuk ke hotel
bintang satu. Letaknya hanya dua blok dari stasiun. Dengan kelaparan dan
berbekal uang di saku, kami keluar dari hotel untuk mencari tempat penjualan
makanan.
Saat berjalan tiga blok dari hotel, kami diperhadapkan pada perkelahian para
pengedar narkoba jalanan. Kehadiran kami rupanya mengganggu mereka, dan
mereka mengejar kami dengan pisau terhunus. Dengan penuh ketakutan kami
berlari ke jalan raya untuk menyelamatkan diri.
Kami sampai ke ujung jalan di seberang hotel, ketika sebuah mobil polisi
dengan lampu sirine yang meraung-raung menuju ke arah kami. Tiga orang
polisi dengan sigap meloncat dari dalam mobil.
"Arretez-vous! " (Berhenti!) mereka berteriak dan menodongkan pistol
ke arah
kami.
Kami baru saja tiba di Marseilles tiga puluh menit, dan sekarang polisi
salah menduga kalau kami adalah pengedar narkoba atau PSK. Mereka mendorong
kami menuju belakang mobil polisi! Tidak seperti yang saya impikan, tetapi
tetap merupakan petualangan yang luar biasa. Heidi sangat shock. Saya juga
seharusnya sama, tetapi saya malah tertawa. Seluruh pengalaman di Perancis
menjadi begitu aneh bahkan untuk bayangan pikiran saya sekali pun.
Heidi mendesak saya untuk menjelaskan pada polisi bahwa kami tersesat,
kelaparan dan ketakutan dan ...
"Saya tidak bisa," akhirnya saya menyerah. "Saya tidak begitu
paham bahasa
Perancis!"
Setelah beberapa menit dalam ketakutan, saya mencoba tenang dan berkata,
"Kami tersesat!" dalam bahasa Perancis. Para polisi tidak begitu saja
mempercayainya, dan pistol mereka tetap terarah pada kami. Mata mereka
menyelidik tajam, saling berpandangan, dan kemudian ... pistolnya
diturunkan.
Dalam bahasa Inggris yang patah-patah seorang polisi berkata, "Orang
Amerika
yah? Kamu tersesat? Perlu tempat tinggal?"
"Ya, ya!" kami berteriak. "Oui, oui!" kepala kami
mengangguk-angguk seperti
apel yang jatuh ke air.
Polisi itu rupanya kasihan terhadap kami. Dia kemudian mengajak
teman-temannya untuk berdiskusi beberapa menit, dan kemudian berkata,
"Jangan kuatir. Saya akan membantu."
Kami diantar ke sebuah rumah peristirahatan yang indah di Aix, sesuai dengan
tujuan mula-mula kami! Nenek dari polisi itu menjamu kami, dan dia
memberikan sebuah ruangan yang sangat bagus dan pemandangan indah ke arah
bukit yang penuh bunga lavender, seperti impian saya.
"Bagaimana Heidi?" kata saya, yang mulai tertidur di bed yang besar
setelah
pengalaman tiga puluh enam jam dari Paris yang melelahkan. "Saya sudah
katakan, kalau kita punya teman di Perancis Selatan!"
Memang teman yang sangat baik. Kenyataannya kami tinggal di sana dengan
gratis selama enam bulan!
Posting Komentar untuk "TEMAN DI PRANCIS"