CINTAKU DI HATI YANG SALAH
Cintaku di Hati yang Salah
Darimanakah datangnya cinta? Dari mata turun ke hati. Ya. Pepatah itu tampaknya benar
untuk kisah hidupku. Dari seringnya bertemu, berbicara, makan bersama, di hatiku
perlahan tapi pasti terbenihkan cinta. Cinta yang demikian halus, tapi juga
begitu kuat. Cinta yang hebat untuk lelaki yang sangat pantas
mendapatkannya. Sayang, dia kakak iparku.
Panggil aku sistri. Aku tinggal di Yogya, staf accounting di sebuah perusahaan besar
di Yogya. Di kota yang tenang ini, bahkan sesudah gempa, aku merasakah hidup yang
lurus, lempang, dan berjalan lambat. Mungkin karena itu juga aku acap tak sadar usiaku yang telah
berjalan meninggalkan kemudaan. Awal
tahun ini aku telah memasuki 30 tahun, tanpa kekasih. Tapi,
jangan katakan aku kesepian. Hidupku riang, temanku banyak. Aku tak cemas soal pernikahan.
Jika sudah waktunya, pasti datang, pikirku.
Aku bukan asli Yogya. Besar dan lahir di Semarang. Pekerjaan yang menerbangkanku ke
sini. Di Semarang, ada Mama dan kakakku, Sista, yang telah memberiku dua orang
keponakan, Jelita (3) dan Aida (1) dari suaminya Ibram. Papa sudah meninggal 7
tahun lalu. Kakak menikah dengan Ibram ketika aku sudah ke Yogya. jadi, aku
tidak terlalu dekat dengan suaminya. Cuma, dalam beberapa pertemuan aku menangkap kesan suaminya baik, ramah, dan sangat supel. Bahagia
juga memiliki ipar yang dapat membuat kakaku begitu tampak bahagia.
Nah, awal tahun ini juga, Ibram mendapat tugas dari kantornya untuk meneruskan
sekolah. Tugas belajar. Dan kota yang dia dapat tak jauh, Yogya. Satu bulan
pertama, dia laju, pulang pergi. Kadang kalau kelelahan, menginap di Yogya, dan
pulang pagi subuh ke Semarang. tapi, hanya sebulan dia mampu melakukan itu.
Setelah jadwalnya pasti, dan tugas makin berat dari kampus, dia memilih kos.
Namun, ketika aku kembali ke Semarang, kakaku usul agar Mas Ibram mengontrak
rumah saja di Yogya, dan bisa kami tempati berdua. Semula aku mengelak. Aku takut
tidak bebas. Tapi, sambil tertawa kakakku menjelaskan bahwa Ibram tidak akan mengawasiku.
Kakak hanya ingin Ibram ada
teman. Mama pun mendukung. Ya sudah, aku ikut aja.
Rumah yang dikontrak lumayan besar, 3 kamar. Satu kamar sisa dipakai untuk buku2 Mas Ibram
yang ternyata banyak. Dia memang mengambil jurusan yang banyak bergelut dengan
buku dan penelitian. Tapi melihat keuletannya, aku yakin 1,5 tahun pasti
kuliah itu sudah dapat dia kelarkan.
Begitulah, sebulan pertama dia masih 3 hari dalam seminggu bersamaku. Akhir pekan selalu pulang.
Kangen anak-anak pasti. Terkadang, kakak yang ke Yogya bersama anak-anak,
liburan di sini. Praktis, aku memang tidak lagi merasa sepi jika tidak ada
teman-teman yang datang. Di bulan ketiga, Mas Ibram mulai banyak tugas. Dia
juga nyambi kerja sampingan di Yogya, bersama teman-teman barunya. Dan
rutinitasnya denganku menjadi lebih sering. Aku
menjadi adiknya yang membangunkan tidurnya, mengajaknya salat, menyediakan sarapannya. Itu
saja. Makan malam terkadang kami terpisah. Apalagi, kalau malam dia pulang pasti
lepas Isya. Terkadang saat aku sudah tertidur.
Namun, untuk menghemat pengeluarannya, mulailah rutinitas ini: kami masak di rumah. Aku yang
jadi juru masak, dan dia bagian bersih-bersih. Terkadang, kalau dia merasa aku
capai, kami makan bersama di malioboro. Nah, makan bersama, bangun dan salat
subuh bersama, melihatnya keluar dari kamar mandi dengan rambut basah,
pergi ke kampus pagi, sebelum aku ke kantor, membuatku lama-lama jadi suka
melayaninya. Cuma mencuci baju yang tidak aku lakukan, karena selalu dia bawa ke
Semarang. Kesukaan ini membuatku jadi betah berada di rumah, menunggunya
pulang, bertanya ini-itu, dan nonton teve bareng, atau ke kamar buku bersama.
Aku tahu, Mas Ibram sangat pintar, wawasannya luas, mengajinya bagus.
Pantaslah Kak Sista begitu bahagia bersamanya.
Tiga bulan bersama, dan hanya terpisah
di akhir minggu, setiap dua minggu sekali, kini jadi siksaan bagiku. Terkadang aku
ikut ke Semarang, bukan karena kangen sama Mama atau ponakan, tapi karena ingin tetap dekat
dengan mas Ibram. Dan, ketika aku melihat kemesraan dia dengan kakak, dadaku
sakit. Aku ingin rasanya menangis. Sejak saat itu, tak ingin aku kembali ke Semarang bersama.
Aku merasa demikian dekat dengannya, dan ya Tuhan, barangkali aku
mencintainya. Namun, di depannya aku tak menunjukkan perubahan berarti.
Tapi, hati memang tidak bisa dibohongi. Kalau malam - malam, aku dengan ringan meminta dia
merangkulku, tentu tanpa menunjukkan itu sebuah sikap mesra. "Mas, mbok
aku dirangkul, dingin nih..." Dan dia dengan tersenyum akan merangkulku,
tanpa canggung. Dia memang
menganggapku adiknya, tak lebih. Yang perlu dia lindungi,
yang perlu dia berikan kemanjaan-kemanjaan. Tapi tidak bagiku, aku
merasakan sensasi yang luar biasa atas rangkulannya. Rangkulannya saja membuatku
demikian tenang, juga terangsang. Aku memang telah jatuh cinta.
Hidupku jadi bergairah. Membangunkannya, membuatkan sarapannya, melihatnya menguap, ke kamar
mandi, dan keluar dengan rambut basah, membuatku selalu berdebaran. Dia tampan,
sangat tampan di mataku, sangat memesonaku. Aku nyaris acap lupa diri.
Aku tak tahu apakah mas Ibram tahu tentang perasaanku. Sikapnya
biasa saja, tak pernah berbeda. Dia memang sering
mengacak-acak rambutku kalau mau berangkat ke kampus. Hanya itu. Oh ya, dia memang tak pernah
mencampuri urusanku. Dia juga tak pernah bertanya siapa kekasihku, kenapa malam
minggu selalu di rumah, kenapa tak ada sms kalau malam-malam, seperti dia
yang selalu mendapat sms dari kakak. Dia diam. Dia seakan menganggap itu
masalah pribadiku. Dan aku terlalu dewasa untuk diingatkan hal-hal
semacam itu. Dan sikap itulah yang membuatku kian
mencintainya.
Aku tak tahu sampai seberapa jauh perasaanku ini akan bertahan. Disini, makin hari makin
rasanya ingin kuserahkan diriku padanya. Ingin rasanya kulakukan apa pun agar
dapat berduaan terus dengannya. Tapi, aku memang tak berani menggodanya. Aku
tak pernah berani menggodanya. Hasratku ada, inginku penuh, tapi maluku
membuat aku lebih berpikir normal. Tak mungkin aku menggoda kakak iparku,
tak mungkin aku menyeretnya dalam asmaraku sendiri, tak mungkin aku khianati
kakakku sendiri. Tak mungkin...
Tapi, rasa ini, gairah ini, hasrat ini, dan demikian banyak kesempatan berdua ini,
bagaimana aku harus bertahan menghadapi gempuran-gempurannya, debaran-debarannya?
? Ohh, tolonglah... kenapa harus kakak iparku? Kenapa bukan lelaki lain, yang
bisa kumiliki dengan riang, dan bukan hanya sekadar impian. Kenapa??
(Sebagaimana cerita Sistri di Yogya, kepada kami)
Posting Komentar untuk "CINTAKU DI HATI YANG SALAH"